Aksi Teror Bukan karena Revisi UU Belum Rampung, tapi Kegagalan Aparat

Aksi Teror Bukan karena Revisi UU Belum Rampung, tapi Kegagalan Aparat

Aksi Teror Bukan karena Revisi UU Belum Rampung, tapi Kegagalan Aparat

Fadli meminta pemerintah tidak menyalahkan kejadian aksi teror yang dilakukan para teroris karena belum selesainya pembahasan revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurutnya, saat ini UU Antiterorisme masih berlaku sehingga masih menjadi payung hukum untuk pemberantasan terorisme. Hal itu harus dijalankan aparat keamanan.

“Sudah ada UU No. 15/2003 dan saat ini hanya revisi, yaitu pemerintah ingin menambah kekuatan. Aksi teror terjadi bukan karena revisi UU belum selesai, melainkan kegagalan aparat menanggulanginya,” kata Fadli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (15/6).

Fadli menjelaskan bahwa revisi UU Antiterorisme saat ini sedang berjalan dan dibahas di Panitia Khusus yang dilakukan DPR dan pemerintah sehingga prosesnya atas dasar kerja kedua belah pihak, bukan hanya ditentukan oleh DPR.

Ia mengatakan bahwa dirinya sudah berbicara dengan pimpinan Panitia Khusus revisi UU Antiterorisme, hasilnya hanya tinggal satu poin pembahasan yang akan diselesaikan, yaitu terkait dengan definisi terorisme.

“Jadi, seharusnya pada masa sidang kemarin sudah bisa disahkan. Namun, dari pemerintah yang meminta 1 bulan menunda, terutama terkait dengan definisi apa itu terorisme. Jadi, supaya jelas, tidak benar bahwa di DPR ini ada penundaan dan sebagainya,” ujarnya.

Fadli juga berharap revisi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak menjadi alat pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Karena itu, pemerintah mesti  memberikan penjelasan yang lugas mengenai definisi terorisme.

“Definisi terorisme ini agar orang tidak gampang dituduh teroris dan jangan UU ini dijadikan semacam alat untuk melanggar HAM pada masa yang akan datang,” katanya.

Fadli mengaku setuju bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa sehingga perlu upaya ekstra untuk memberantasnya. Namun, dia tidak ingin UU Antiterorisme hasil revisi dijadikan alat kepentingan politik di luar upaya pemberantasan teroris.

“Ketika orang disebut penjahat, harus ada definisinya. Apakah penjahat itu melanggar UU dan sebagainya. Termasuk teroris perlu didefinisikan agar ruang lingkupnya jelas, jangan sampai meluas ataupun mengecil,” ujar politikus Partai Gerindra ini.

 

Sumber