
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon menilai orientasi pembangunan infrastruktur yang digulirkan pemerintah saat ini salah arah. Proyek infrastruktur mestinya menjadi insentif bagi industri baja atau semen nasional, bukan sebaliknya.
Saat negara liberal seperti Amerika berusaha melindungi industri logam dasarnya sedemikian rupa, tapi menurutnya pemerintah Indonesia belum juga merilis kebijakan untuk melindungi PT Krakatau Steel dan industri logam nasional dari serbuan produk-produk impor.
“Alih-alih menyelamatkan industri baja nasional dan PT Krakatau Steel, kebijakan pemerintah kita justru sering menjadi penyebab terpuruknya bidang ini. Artinya orientasi pembangunan kita selama ini telah salah arah,” katanya di Jakarta, Rabu (17/7).
Fadli merasa iri dengan kebijakan pemerintah Amerika Serikat (AS) yang memperkuat standar preferensi barang-barang lokal Amerika yang harus dibeli oleh pemerintah. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani Perintah Eksekutif (Executive Order) yang meminta agensi-agensi pemerintahan federal untuk membeli produk-produk dengan komponen lokal lebih tinggi. Jika sebelumnya standar komponen lokal hanya 50 persen untuk produk non-baja dan non-besi, syarat itu kini dinaikkan menjadi 75 persen. Sedangkan untuk produk baja dan besi, syarat kandungan lokal bahkan dinaikkan menjadi 95 persen.
Berbeda dengan Indonesia, lanjut dia, sektor industri baja justru terpuruk. Terlebih, selama enam tahun terakhir PT Krakatau Steel terus menerus merugi. Selain karena faktor internal perusahaan, kerugian ini juga disebabkan oleh peraturan pemerintah yang memungkinkan terjadinya impor baja besar-besaran ke Indonesia.
“Misalnya, bagaimana bisa produk baja nasional kompetitif, jika pemerintah malah membebaskan bea masuk baja-baja impor? Ini menjelaskan kenapa saat Pemerintah katanya sedang jorjoran membangun infrastruktur, industri logam nasional kita malah terpuruk dan bahkan sedang menuju kebangkrutannya,” ujarnya.
Menurutnya, serbuan baja impor yang terjadi beberapa tahun terakhir merupakan implikasi terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 22/2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan dan Produk Turunan. “Aturan ini, sesudah saya baca kembali, memang ngawur,” tuturnya.
Saat ini sekitar 55 persen persen kebutuhan konsumsi baja nasional yang mencapai 14 juta ton pada 2018 dipenuhi produk impor. Pangsa baja impor ini terus mengalami kenaikan, karena pada 2017 pangsanya masih 52 persen.
Dengan volume impor baja yang terus meningkat, Indonesia kini menduduki peringkat pertama dari 6 negara ASEAN sebagai pengimpor baja tertinggi. Di bawah Indonesia ada Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam yang rata-rata volume impornya minus.
Kerugian dan ancaman kebangkrutan yang kini dialami PT Krakatau Steel seharusnya dijadikan alarm oleh Pemerintah. Indonesia tak mungkin menjadi negara maju jika industri logam dasar nasional gulung tikar.
“Kita mestinya bisa mengambil pelajaran dari negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, atau Turki, yang memproteksi pasar baja domestiknya dari serbuan produk impor,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika pemerintahan ini nasionalis dan bukan komprador asing, mereka seharusnya segera menyelamatkan PT Krakatau Steel dan industri baja nasional. Pemerintah seharusnya mendorong konsumsi baja dan semen nasional dalam semua proyek infrastruktur yang sedang dibangun. “Ini harus dilakukan demi menyelamatkan industri strategis kita,” kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu.